Sabtu, 10 Desember 2016

Menghargai Perbedaan

     Hari itu tidak seperti biasanya, ada yang lain. Sewaktu saya sampai di rumah Bu Nita, ada hiasan bunga yang menggantung di depan pintu rumah. Awalnya saya kira cuma hiasan biasa. Waktu saya masuk rumah baru faham. Wah ternyata sudah ada pohon natal yang cukup besar di ruang tamu lengkap dengan pernak pernik ornamen natal yang menghiasi seisi ruangan. Saya masuk seperti biasa.
Me         : “Wah Bu, sudah dipasang ya Bu? Padahal masih bulan November ya ini Bu?” (Tanya saya sambil senyum-senyum)
BN          : “Iya Miss. Biasanya emang gitu sih Miss. Sudah mulai pasang akhir November biar berasa suasananya.”
Me         : “Owaah, gitu ya Bu. Baru tau. (Saya menimpali sambil antusias gitu)
                 Obroan berlanjut tentang pohon natal... (Harganya, dimana dan kapan belinya) sambil nunggu Kelly yang masih mandi.  Sambil melakukan aktivitasnya di dapur beliau tanya lagi ke saya,
BN          : “Miss hari ini puasa ya?”. (Kebetulan waktu itu hari Kamis. Sepertinya beliau sudah hafal gitu kalau setiap Senin sama Kamis saya puasa kecuali kalau sedang ada udzur)
Me         : “Iya Bu. Kenapa Bu?” (Jawab saya singkat).
BN          : “Gpp Miss. Ini tadi pesen pastel tutup banyak Miss. Soalnya Kelly sama papanya itu doyan. Uda pernah makan belum Miss? Enak kok. Aku bungkusin ya Miss buat buka puasa. Tak panasin di oven dulu. Makan ini aja buat buka puasa uda kenyang kok Miss. Gak usah beli nasi nanti Miss.” (Jelas beliau antusias)
Me         : “Oh iya Bu. Makasih banyak loh Bu. Jadi nggak enak saya.” (Jawab saya basa-basi gitu. Tapi dalam hati siapa yang tidak senang sih kalau dikasih sesuatu gitu. Hehe)
                Waku jam les mau selesai, Bu Nita datang bawa makanan banyak lalu ditata dan dimasukin ke kresek yang cukup besar.
BN          : “Miss ini ya buat buka puasa” (Ucap beliau ramah)
Me         : “Loh Bu, kok banyak banget itu Bu?” (refleks saya jawab gitu soalnya yang saya lihat yang dimasukin nggak hanya pastel tutup yang tadi saja tapi ada ote-ote 3 biji, 1 kotak jajanan pasar, saya ngggak tahu namanya apa :D  sama 1 sisir pisang dan 1 botol air mineral)
BN             : “Iya Miss. Ini kalau lagi ada kok. Kebetulan hari ini kok ya banyak berkah. Daripada gak kemakan Miss”.
Me            : “Oh iya.. Sekali lagi terimakasih banyak loh Bu..

               
     Itu Cuma sepenggal cerita yang saya alami sih. Sempat ada pertanyaan dari teman-teman, termasuk Ibu, Kalau dikasih makanan gitu apa ya nggak takut Wil?. Nah saya berani jawab “InsyaAllah gakpapa kok”. Saya jawab begitu juga bukan asal tapi ada alasannya. Hehe. Jadi pernah waktu awal-awal gitu, Kelly bilang ke mamanya gini, “Ma, Missnya kasih pie itu loh Ma..” Kemudian beliau jawab “Gak bisa Kelly. Missnya gak bisa makan itu. Gak halal itu. Kalau kita tetap kasih kita yang dosa nanti.” Setelah dibilangin mamanya gitu kedepannya setiap kali dia mau kasih saya jajan pasti tanya dulu ke mamanya, “Ma, Miss Wilda boleh makan ini ta Ma??” Kadang  lucu juga lihatnya tapi ya Alhamdulillah Allah mudahkan semuanya. Ternyata senang ya kalau semua bisa benar benar memahami dan menghargai perbedaan yang ada. Tapi tetap menghargai perbedaan disini tetap dalam bingkai aturan yang diterapkan. Saya juga kurang setuju kok dengan konsep menghargai perbedaan yang kebablasan.
                “Menghargai perbedaan”,  yang sering disebut toleransi (Bahasa Indonesia) atau tasamuh (Bahasa Arab) yang menjadi poin pentingnya. Setiap saat kita selalu berinteraksi dengan masyarakat yang beragam. Itu hal yang tidak bisa dihindari menurut Saya. Entah perbedaan ras, suku, agama, dan lainnya. Atau jika dikerucutkan lagi, meskipun dalam agama yang sama, kita juga masih dihadapkan dengan perbedaan, seperti aliran, pemahaman, pola pikir, atau hanya sekedar karakter seseorang. Itu sesuatu yang sangat wajar. Dari sana saya belajar bagaimana bersikap dan bagaimana meposisikan diri. Saya belajar untuk lebih hati-hati dalam bersikap dan berucap agar tidak ada yang tersinggung atau sakit hati dengan ucapan dan perbuatan saya. Mungkin karena itu saya lebih sering memilih untuk tidak mengikuti trend, sangat jarang untuk ikut komentar tentang isu-isu yang lagi hits. Tidak ikut komentar bukan berarti tidak peduli. Entah ya saya pribadi memang kurang suka untuk komentar mengenai hal-hal seperti itu di media sosial. Tapi hal tersebut juga bukan berarti saya tidak mengikuti perkembangan yang terjadi. Kadang komentar dan meme-meme yang bertebaran di medsos itu terlalu berlebihan menurut saya. Berpendapat itu hak semua orang. Tentu kita semua tahu itu. Namun yang harus diingat tetap jaga etika.
“Dan janganlah kamu memaki- sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena nanti mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitahu kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan.”
(QS. Al An’am :108)
                Kadang juga muncul pertanyaaan, Ya Allah, kenapa kok gini ya?. Di zaman akhir seperti ini, ketika berita yang benar dan salah bercampur jadi satu dan kita kesulitan untuk memilahnya, siapa lagi yang bisa kita harapkan selain petunjuk-Nya? Barangkali itulah mengapa setidaknya 17 kali dalam sehari secara tidak langsung berdoa “ihdinasshirothol mustaqiim”.. Ya Allah tunjukkanlah kami jalan yang lurus..

Gresik, 10 Desember 2016


Tidak ada komentar:

Posting Komentar