Kamis, 26 November 2015

Hilang (?)

Pernakah kamu merasa takut akan kehilangan seseorang?
Tapi, apakah arti kehilangan jika kita tak pernah memilikinya?
Bukankah rasa kehilangan hanya untuk mereka yang memiliki?
Nyatanya, saat ini perasaan itu benar-benar ada.
Mungkinkah karena ada secuil harapan untuk saling memiliki?
Entahlah...

-Untukmu yang senantiasa tersebut dalam doa-

Rabu, 18 November 2015

Musikalisasi Puisi Sholawat

Assalamu'alaikum

Sesuai dengan janji saya sebelumnya, alhamdulillah video penampilan musikalisasi sholawat yang dibawakan oleh teman-teman UKM Cinta Rebana ITS pada Festival Hadrah Al Banjari ITS yang merupakan serangkaian acara Dies Natalis ITS ke 55 sudah selesai diupload. Mohon maaf kalau kualitasnya tidak seberapa bagus, maklum ngerekamnya cuma pakai hp hehe. Tapi semoga tidak mengurangi pesan yang ingin disampaikan. Selamat menikmati :)

Wassalamu'alaikum

Senin, 16 November 2015

Rindu Kekasih

Terpanjatkan segala doa indah lagi istimewa
Hanya kepada dia, sang ahli menunggang unta
Unta-unta itu tertawa turut berbahagia
Atas senangnya, atas bahagianya
Para pengiring senandungkan rindu pada sang kekasih
Derapkankah hewan mulia itu, kian mengkilat
Tangisnya deras bak awan pekat menahan gigihnya haru

Adakah yang lebih berdebar dinantikannya
Selain penuaian rindu akan ladang dan peggembalaan tuannya
Maka, tali kekang itu lepaskanlah
Ia hanya ingin segera berlari
Agar segera tiba masa jumpanya
Nabi, kepadanya ia rindu
Jika kau benar cinta dan haus akan rindu bersua dengannya
Sebagaimana trik unta itulah bukti rasa itu padanya, tanpa sandiwara

Perjalanan panjang akan mencapai muara hulu
Cahaya kubah mulia di kota akik terpancar di depan mata
Nur di kota hijau itu tiada pernah redup dan tiada pernah tertandingi
Lantaran jasa sang kekasih meredam segala kegelapan dunia
Pertemuan ini kian masa kian mendekati takdirnya
Dengan ridho-Nya semua kebahagiaan itu terkumpul menyatu
Pada hari ini kusaksikan bahwa seluruh rasa mulia dan cinta tak ada sedikit berselir di hati
Tak ada sedikit pun selir di hati selain pada insan paling mulia

Tanpa janji muluk dan harapan yang khawatir dikhianati
Rasa cinta itu tentu terbalas indah dan menghapus semua lara
Dialah manusia sempurna, Nabi pilihan di seluruh zaman
Baginyalah segala keluhuran, derajat, dan martabat kemuliaan

Sudah termaktub dalam sabda Tuhan
Tentang kemuliaan dan ketinggian kedudukan
Tiada lagi diragukan
Maka jika dimulailah semua perjalanan, perpindahan hati dan pandangan
Tak lagi dengan unta sebagai tunggangan
Jika tiba pada sebuah waktu paling mulia
Berbagilah,
Hari dimana ia, sang panutan dahulu dilahirkan
Maka rayakanlah

Sepanjang hayat masih hangat
Dan nafas masih berpacu dalam lengang
Doa dan rahmat tak kan usai terpanjat
Di bawah gemerlapnya sorot-sorot bintang
Kepada sang kekasih, cahayanya abadi
Melampaui semua, juga kerabat, sahabat, dan para umat
Doa kami abadi, terpatri

Kilau cahayanya melingkupi seluruh muka bumi
Disana purnama bersinggasana menebar misteri
Kesempurnaan itu tiada pernah tertandingi
Seluruh kata dan ekspresi dibuat lungguh lesih

Segala cinta terbentang alam semesta raya
Tak pelak ada dan hilang, lahir dan pergi
Tebar sinar muliamu tinggi mengangkasa
Segala kelam dan nista lenyap terkubur mati

Dengan adamu seiisi bumi berani bersaksi
Bermandikan cahayamu seketika benderang, nikmat
Dan petunjukmu menyusupi pori-pori
Hapus, hapus rongrongan, dahaga yang meradang
Doa dan harapan hamba tak kunjung usai
Terpanjat pada Tuhan Sang Penebar Kasih
Maha Indah, Maha Indah, Maha Cinta dan Maha Membalas
Siang malam, hati dan nurani tak kan tercerai
Agar kekal abadi dalam rindu sang kekasih

Genap seluruh yang kau cinta dan kau lindungi
Handai taulan, sanak saudara tak terkecuali
Juga terlimpahi kasih murni sang ilahi
Dia Yang Maha Tinggi dan juga yang Maha Mengasihi
...................................................................................................................................................................

Puisi yang sempat membuatku merinding saat pertama kali mendengar dan melihatnya secara langsung. Dibawakan dengan penuh penghayatan. Karena yang dibawakan dengan hati akan sampai ke hati. Semoga semakin menambah rasa cinta kita kepadanya. Untuk video insyaAllah menyusul, mengingat ukuran cukup besar jadi harus pakai wifi ^^


Minggu, 15 November 2015

Belajar dari Sayyidina Ali Ra

Cinta tak pernah meminta untuk menanti
Ia mengambil kesempatan
Itulah keberanian
Atau mempersilahkan
Yang ini pengorbanan


Itu salah satu pelajaran yang bisa diambil dari kisah cinta Ali bin Abi Thalib dan Fatimah Az Zahra. Untuk yang sedang memperjuangkan seseorang, semoga bisa mengambil pelajaran darinya. Semoga kisah yang sedang ditulis berakhir indah ^^

Kamis, 12 November 2015

Mengenang Ayah

      12 Nopember ya sekarang? Aku bahkan tak tahu kalau hari ini “Hari Ayah” kalau saja tidak melihat updatetan status teman-teman di media sosial. Sama sekali tidak ada niat untuk menuliskan sesuatu tentangnya. Karena menulis tentangnya itu berarti menarik kembali kenangan yang pernah ada tanpa terkecuali tentang saat-saat yang sungguh sangat tidak aku sukai. Saat ketika aku melihatnya terbaring lemah tak berdaya, saat ketika melihatnya keadaannya yang begitu menyedihkan, saat ketika Allah lebih memilih untuk memanggilnya daripada untuk tinggal lebih lama lagi di sini. Begitu menyakitkan rasanya. Bahkan sampai sekarang mengingat peristiwa itu hanya akan menyebabkan air mata yang keluar tak terbendung.
      Malam ini, malam Jumat, Alhamdulillah Allah memudahkan langkahku untuk hadir di majelis itu, Majleis Diba’.  Kalau tidak ada kegiatan yang darurat rasanya hadir disana merupakan suatu keharusan. Entah kenapa. Berada di dalamnya mampu menentramkan jiwa yang sudah penat dengan urusan ini itu. Disana aku bisa mengadukan semuanya, apa-apa yang mengganjal di hati. Disana juga aku bisa merasakan kedekatan dengan-Nya bahkan merasakan kehadiran kekasih-Nya. Entah percaya atau tidak tapi itu yang aku rasakan. Sampai di tengah-tengah ada salah seorang teman yang membagikan puisi tentang ayah di grup LINE. Belum sempat selesai membaca satu bait pertamanya, nyatanya air mata itu sudah meleleh. Akhirnya kuputuskan untuk tidak membaca kelanjutannya. Barangkali lantunan sholawat qasidah yang dibawakan, pukulan terbang yang dimainkan juga turut andil dalam menyebabkan aku merasakan sesuatu yang lebih akrab disebut “baper”. Iya, baper banget rasanya. Sudah mencoba sekuat tenaga untuk menahan air mata yang mulai membasahi kelopak mata agar tidak jatuh namun percuma gagal juga. Bahkan adik yang duduk di sebelah sampai tanya “Lho mbak wilda kenapa?”, Cuma bisa jawab sambil senyum “Nggak papa-papa dek. Cuma keinget sesuatu jadinya baper. Dia nggak bertanya lagi, hanya saja memegang tanganku, mencoba untuk menenangkan :’)
      Ayah, aku mungkin tidak bisa bercerita banyak tentangnya seperti apa yang teman-teman lakukan. Ayah, mungkin dia bukan seperti ayah-ayah lain yang selalu memberikan apa pun yang diminta oleh putrinya. Mungkin ayah juga bukan ayah yang selalu menanyakan kabar putrinya ketika putrinya sedang di rantau. Ayah juga bukan ayah yang sering mengajak anaknya untuk berlibur ke tempat yang indah setiap ada kesempatan. Tapi yang aku tahu ayah tetaplah sosok yang baik yang dalam setiap sujudnya tak pernah ia lupakan doa terbaik untuk anak-anaknya. Ayah mungkin jarang membelikan barang berharga untukku. Tapi aku cukup tahu, jauh di dalam lubuk hatinya ayah pasti ingin memenuhi semua keinginanku. Bahkan aku tahu, ketika aku meminta barang yang sangat kubutuhkan, ayah berusaha untuk memenuhinya meskipun uang yang ada sebenarnya tidak cukup. Tapi ayah berusaha memenuhinya untukku. Ayah tidak pernah merasa berat ketika harus mengambil tabungannya untuk keperluanku. Bahkan ayah yang memberiku pengertian bahwa banyaknya materi yang kita punya itu tidaklah penting. “Rizki iku gak penting akeh atau titik. Sing penting iku barokah. Mbasio ta akeh tapi nek gak barokah yo tetep ae ngeroso kurang”. Kata-kata itu masih sering kuingat sampai sekarang. Ayah, masih aku ingat. Ketika awal masuk kuliah. Ketika teman-teman semua ditemani ayah atau ibunya saat ribet-ribetnya mengurus keperluan daftar ulang, mencari tempat kos, dan lain-lain, aku tidak bersama ayah saat itu. Saat aku menangis karena bingung dengan siapa aku pergi kesana, ayah menawarkan diri untuk menemaniki. Mungkin itu yang dinamakan naluri orang tua. Ia bahkan tidak tega melihat anaknya kebingungan. Tapi aku menolak. Tidak sampai hati rasanya aku harus merepotkan ayah dengan kondisi ayah yang seperti itu. Sampai akhirnya ternyata Allah kasih jalan lain. Aku bersama temanku yang ditemani pamannya untuk mengurus keperluan daftar ulang. Ayah, apa ayah tahu kadang aku merasa iri ketika melihat teman-teman yang lain ditelepon oleh orang tuanya yang menanyakan kabar anaknya, kegiatan apa saja yang dilalukan. Tapi tentu saja segera kutepis perasaan itu. Karena aku tahu ayah dan ibuk bukannya tidak mau menghubungi anaknya tapi tidak bisa. Iya, karena ayah dan ibu tidak pegang hp. Aku masih ingat ketika Mbak menawari hp untuk ayah dan ibuk. Tapi saat itu ayah menolak dan bilang, “Wes gak usah, wong wes tuwo kok”. Hehe, alasannya lucu menurutku. Meskipun ayah sama sekali tidak pernah telpon selama anaknya kuliah tapi aku tahu ayah selalu mengkhawatirkan keadaan anaknya. Hanya saja caranya yang lain. Ayah titipkan anaknya kepada Sang Pencipta lewat doa. Aku juga masih ingat, ketika akan ujian, aku minta didoakan ayah sama ibuk. Tapi ayah selalu jawab “jenenge wong towo, gak usah dijaluk yo wes didungakno. Ben mari sembayang gak tau lali ndungakno gawe anak-anake”. Doa, itu juga yang selalu ayah ingatkan. Dulu, saat mau tidur. Ayah selalu mampir ke kamar, melihat apakah anaknya sudah tidur atau belum. Kalau aku belum tidur, ayah pasti bilang “wes ndang turu, ojok lali moco-moco” . Dan satu hal yang tidak mungkin aku lupakan. Dulu saat aku harus opname karena anemia. Saat aku harus transfusi darah dan ternyata stok darah di Rumah Sakit yang sesuai dengan golonganku habis. Ayah yang pontang-panting mencarinya ke luar Rumah Sakit malam-malam dan Alhamdulillah akhirnya dapat dari PMI. Aku tidak mungkin lupa semua itu. Bahkan masih banyak lagi pengorbanan, kasih sayang, dan kebaikan yang ayah beri dan aku sama sekali tidak sanggup untuk menulisnya satu per satu. Ada yang bilang rizki tak melulu soal materi. Rizki itu apa yang kita nikmati, apa yang kita syukuri. Dan bagiku, ayah adalah salah satu rizki yang telah Allah berikan untukku. Tapi yang namanya rizki, ia tidak akan kekal karena ia hanya titipan yang setiap saat kita harus siap kehilangan saat Sang Pemilik mengambilnya. Tapi kelihatannya Allah masih begitu baik kepadaku. Rupanya Allah memberi “kode” kpeadaku, mengingatkan bahwa tak lama lagi Dia akan mengambil kembali titipan-Nya itu. Masih teringat jelas. Tiga bulan sebelum Dia mengambil ayah, saat ayah masih terbaring lemas. Aku hadir di majelisnya Romo Yai Achmad Asrory Al Ishaqy Ra. Tempatnya di Pondok Pesantren Al Fithrah Kedinding Surabaya saat itu. Sengaja aku hadir dengan niat khusus untuk Ayah. Aku ceritakan semuanya kepada-Nya. Aku yang merengek-rengek minta agar diberi waktu lebih lama lagi agar aku bisa bersama ayah. Aku yang dengan polosnya mengaku bahwa aku tidak siap jika DIa harus mengambil ayah secepat itu. Ya, aku yang sama egoisnya dengan anak kecil yang menangis ketika boneka kesayangannya akan diambil orang lain. Tapi lama-kelamaan luluh juga pertahananku. Anak mana yang sanggup berlama-lama melihat orang tua yang begitu dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Begitu juga dengan ku. Sehari sebelum Allah memanggil ayah, KH. Umar Thoha atau yang biasa dipanggil orang-orang Ustadz Umar datang ke rumah. Ayah memang biasa ikut pengajian beliau di Masjid Jami’ sesudah sholat shubuh. Namun selama tiga bulan belakangan harus berhenti karena Ayah hanya bisa terbaring di tempat tidur. Ya, ba’da dzuhur beliau datang ke rumah bersama putranya yang masih TK serta satu orang teman ayah. Ada sedikit perbincangan yang aku sendiri tak begitu jelas apa yang dibicarakan karena saat itu suara ayah sudah tak bisa terdengar dengan jelas. Di akhir pertemuan itu, Ustadz Umar bacakan doa. Aku dan Ibu yang melihat dibalik pintu ikut mengamini. Begitu juga dengan ayah yang masih bisa mengangkat kedua tangan. Meskipun aku tak paham betul doa apa yang dipanjatkan tapi aku tahu Ustadz Umar berdoa untuk kebaikan ayah. Malamnya saat aku akan tidur, Ibu bilang “Mau Ustadz Umar ndungakno ayah. Nek pancene ayah sek dikei panjang umur, mugo-mugo cepet waras. Tapi nek pancene wes wayahe, mugo-mogo yo dilancarno. Tapi Ibuk kok ngeroso ayah wes ape gak onok. Wes gak popo yo. Sakno ayah nek loro suwih-suwih.” Aku yang mendengar ibu bicara seperti itu sama sekali tak menjawab apapun. Saat itu mungkin aku sudah lebih siap dari sebelumnya. Sudah tidak ada lagi tangisan saat harus menyuapi ayah, sudah tak ada lagi mata yang berkaca-kaca saat berbicara dengan ayah. Keesokan paginya, sekitar pukul 05.30 WIB, Jumat 10 Juli 2015/ 23 Ramadhan 1436 H, Allah SWT benar-benar memanggil ayah. Aku, sedih sudah pasti tapi tak ada tangisanku saat itu. Mungkin karena sudah banyak tangisan-tangisan sebelumnya. Ya, Allah benar-benar mengambilnya saat kami merasa sudah siap, saat kami benar-benar sudah mengikhlaskannya pergi.
      Ayah, semoga ayah baik-baik disana ya. Aku kangen ayah. Semoga ayah selalu mendoakanku dari sana. Allah, aku titipkan dia pada-Mu, tempatkan dia di sisi-Mu. Ampuni dosanya dan terima semua amal ibadahnya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin

“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” (QS. Ali Imran :109)


“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali).” (QS. Al Baqarah : 156)

Rabu, 11 November 2015

Bukankah itu Fitrah?

      Dalam buku itu dikatakan tak ada jatuh cinta yang salah. Ia seringkali hadir begitu saja, tanpa sempat kita waspadai. Atau, kalaupun sudah diwaspadai tetap saja kita tak mampu lari darinya. Ia terus mengejar kita sampai sudut terjauh yang bisa kita jangkau, lalu, ketika kita lelah, ia datang menerkam dengan segera. Memperdaya kita dengan segala pesonanya. Tanpa ampun. Tanpa negosiasi sedikit pun. Tuhan saja masih berlapang hati memberikan penangguhan pada iblis, nyatanya jatuh cinta tidak. Sepertinya memang tidak ada yang salah dengan perasaan jatuh cinta.  Bahkan dalam surat cinta-Nya disebutkan bahwa ketertarikan pada lawan jenis merupakan tanda-tanda kekuasaan-Nya. Bukankah itu berarti setiap manusia harus mensyukurinya? Barangkali disitu letak persoalan sesungguhnya. Bukan pada pertanyaan apakah jatuh cinta merupakan perasaan yang salah atau tidak, melainkan bagaimana cara mensyukuri perasaan tersebut.

      Lalu bagaimana dengan hati ini? Begitu munafik rasanya kalau menyatakan tidak setuju dengan pernyataan tersebut. “Bagaimana cara mensyukurinya?”, itulah hal yang ditekankan. Apakah dengan menyebut namanya di setiap kesempatan? Apakah dengan memujanya siang dan malam? Atau mungkin mencari-cari kesempatan untuk bisa berinteraksi dengannya? Tentu bukan ketiganya. Memilih untuk diam, memendamnya dalam-dalam, sambil terus mempersiapkan dan mendewasakan diri mungkin bisa jadi solusi yang lebih bijak. Sampai ketika saatnya tiba, semoga Dia memantapkan pilihanmu, menuntun langkahmu. Tentu saja bukan hal yang mudah tapi semoga dimudahkan.

Sabtu, 07 November 2015

Hujan Bulan Juni


Tak ada yang lebih indah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu

(Sapardi Djoko Damono dalam "Tuhan Maha Romantis" karya Azhar Nurun Ala)

Kamis, 05 November 2015

Harapan

        Ya Allah, aku tak tahu harus memulai darimana. Tapi pertanyaan itu selalu hadir dalam pikiran ini. Apa daya seorang hamba ketika Engkau berkehendak untuk menghadirkan perasaan itu dalam hatinya? Ada banyak orang baik di dunia ini. Namun yang baik dan terpaut di hati hanya segelintir. Allah, dia baik. Aku bisa lihat itu. Tetapi aku juga tidak menutup mata bahwa ada perbedaan diantara kita. Ya Allah Ya Rabbi, wahai dzat yang membolak balik hati manusia, bahkan tanpa aku katakan Engkau sudah mengerti. Ya, aku berusaha mencari jawabannya kepada mereka yang aku rasa faham tentang ini. Aku bukannya ragu. Justru aku sangat berharap kebersamaan itu bisa tercipta di atas perbedaan yang ada. Harusnya memang bisa karena bukan hal prinsip yang menjadi perbedaan. Aku hanya butuh belajar lebih agar bisa membangun kebersamaan itu dan tentu saja menjaganya. Sebenarnya urusan ini mungkin saja bisa jadi mudah jika ada sifat terbuka, menghargai perbedaan yang ada, menganggapnya sebagai rahmat. Namun untuk saat ini, jalan itu rasanya masih samar, belum bisa terlihat jelas. Ya Ilahi wa maliki, aku sepenuhnya bergantung pada-Mu dalam urusan ini. Hati ini masih belum cukup berani untuk bermain-main. Semoga Engkau hindarkan ia dari pengharapan selain pada-Mu agar tidak ada rasa sakit di kemudian hari. Wahai Dzat yang Maha Pemurah, sesungguhnya dalam hati ini terdapat hajat maka kabulkanlah wahai yang sebaik-baik mengabulkan.