Kamis, 12 November 2015

Mengenang Ayah

      12 Nopember ya sekarang? Aku bahkan tak tahu kalau hari ini “Hari Ayah” kalau saja tidak melihat updatetan status teman-teman di media sosial. Sama sekali tidak ada niat untuk menuliskan sesuatu tentangnya. Karena menulis tentangnya itu berarti menarik kembali kenangan yang pernah ada tanpa terkecuali tentang saat-saat yang sungguh sangat tidak aku sukai. Saat ketika aku melihatnya terbaring lemah tak berdaya, saat ketika melihatnya keadaannya yang begitu menyedihkan, saat ketika Allah lebih memilih untuk memanggilnya daripada untuk tinggal lebih lama lagi di sini. Begitu menyakitkan rasanya. Bahkan sampai sekarang mengingat peristiwa itu hanya akan menyebabkan air mata yang keluar tak terbendung.
      Malam ini, malam Jumat, Alhamdulillah Allah memudahkan langkahku untuk hadir di majelis itu, Majleis Diba’.  Kalau tidak ada kegiatan yang darurat rasanya hadir disana merupakan suatu keharusan. Entah kenapa. Berada di dalamnya mampu menentramkan jiwa yang sudah penat dengan urusan ini itu. Disana aku bisa mengadukan semuanya, apa-apa yang mengganjal di hati. Disana juga aku bisa merasakan kedekatan dengan-Nya bahkan merasakan kehadiran kekasih-Nya. Entah percaya atau tidak tapi itu yang aku rasakan. Sampai di tengah-tengah ada salah seorang teman yang membagikan puisi tentang ayah di grup LINE. Belum sempat selesai membaca satu bait pertamanya, nyatanya air mata itu sudah meleleh. Akhirnya kuputuskan untuk tidak membaca kelanjutannya. Barangkali lantunan sholawat qasidah yang dibawakan, pukulan terbang yang dimainkan juga turut andil dalam menyebabkan aku merasakan sesuatu yang lebih akrab disebut “baper”. Iya, baper banget rasanya. Sudah mencoba sekuat tenaga untuk menahan air mata yang mulai membasahi kelopak mata agar tidak jatuh namun percuma gagal juga. Bahkan adik yang duduk di sebelah sampai tanya “Lho mbak wilda kenapa?”, Cuma bisa jawab sambil senyum “Nggak papa-papa dek. Cuma keinget sesuatu jadinya baper. Dia nggak bertanya lagi, hanya saja memegang tanganku, mencoba untuk menenangkan :’)
      Ayah, aku mungkin tidak bisa bercerita banyak tentangnya seperti apa yang teman-teman lakukan. Ayah, mungkin dia bukan seperti ayah-ayah lain yang selalu memberikan apa pun yang diminta oleh putrinya. Mungkin ayah juga bukan ayah yang selalu menanyakan kabar putrinya ketika putrinya sedang di rantau. Ayah juga bukan ayah yang sering mengajak anaknya untuk berlibur ke tempat yang indah setiap ada kesempatan. Tapi yang aku tahu ayah tetaplah sosok yang baik yang dalam setiap sujudnya tak pernah ia lupakan doa terbaik untuk anak-anaknya. Ayah mungkin jarang membelikan barang berharga untukku. Tapi aku cukup tahu, jauh di dalam lubuk hatinya ayah pasti ingin memenuhi semua keinginanku. Bahkan aku tahu, ketika aku meminta barang yang sangat kubutuhkan, ayah berusaha untuk memenuhinya meskipun uang yang ada sebenarnya tidak cukup. Tapi ayah berusaha memenuhinya untukku. Ayah tidak pernah merasa berat ketika harus mengambil tabungannya untuk keperluanku. Bahkan ayah yang memberiku pengertian bahwa banyaknya materi yang kita punya itu tidaklah penting. “Rizki iku gak penting akeh atau titik. Sing penting iku barokah. Mbasio ta akeh tapi nek gak barokah yo tetep ae ngeroso kurang”. Kata-kata itu masih sering kuingat sampai sekarang. Ayah, masih aku ingat. Ketika awal masuk kuliah. Ketika teman-teman semua ditemani ayah atau ibunya saat ribet-ribetnya mengurus keperluan daftar ulang, mencari tempat kos, dan lain-lain, aku tidak bersama ayah saat itu. Saat aku menangis karena bingung dengan siapa aku pergi kesana, ayah menawarkan diri untuk menemaniki. Mungkin itu yang dinamakan naluri orang tua. Ia bahkan tidak tega melihat anaknya kebingungan. Tapi aku menolak. Tidak sampai hati rasanya aku harus merepotkan ayah dengan kondisi ayah yang seperti itu. Sampai akhirnya ternyata Allah kasih jalan lain. Aku bersama temanku yang ditemani pamannya untuk mengurus keperluan daftar ulang. Ayah, apa ayah tahu kadang aku merasa iri ketika melihat teman-teman yang lain ditelepon oleh orang tuanya yang menanyakan kabar anaknya, kegiatan apa saja yang dilalukan. Tapi tentu saja segera kutepis perasaan itu. Karena aku tahu ayah dan ibuk bukannya tidak mau menghubungi anaknya tapi tidak bisa. Iya, karena ayah dan ibu tidak pegang hp. Aku masih ingat ketika Mbak menawari hp untuk ayah dan ibuk. Tapi saat itu ayah menolak dan bilang, “Wes gak usah, wong wes tuwo kok”. Hehe, alasannya lucu menurutku. Meskipun ayah sama sekali tidak pernah telpon selama anaknya kuliah tapi aku tahu ayah selalu mengkhawatirkan keadaan anaknya. Hanya saja caranya yang lain. Ayah titipkan anaknya kepada Sang Pencipta lewat doa. Aku juga masih ingat, ketika akan ujian, aku minta didoakan ayah sama ibuk. Tapi ayah selalu jawab “jenenge wong towo, gak usah dijaluk yo wes didungakno. Ben mari sembayang gak tau lali ndungakno gawe anak-anake”. Doa, itu juga yang selalu ayah ingatkan. Dulu, saat mau tidur. Ayah selalu mampir ke kamar, melihat apakah anaknya sudah tidur atau belum. Kalau aku belum tidur, ayah pasti bilang “wes ndang turu, ojok lali moco-moco” . Dan satu hal yang tidak mungkin aku lupakan. Dulu saat aku harus opname karena anemia. Saat aku harus transfusi darah dan ternyata stok darah di Rumah Sakit yang sesuai dengan golonganku habis. Ayah yang pontang-panting mencarinya ke luar Rumah Sakit malam-malam dan Alhamdulillah akhirnya dapat dari PMI. Aku tidak mungkin lupa semua itu. Bahkan masih banyak lagi pengorbanan, kasih sayang, dan kebaikan yang ayah beri dan aku sama sekali tidak sanggup untuk menulisnya satu per satu. Ada yang bilang rizki tak melulu soal materi. Rizki itu apa yang kita nikmati, apa yang kita syukuri. Dan bagiku, ayah adalah salah satu rizki yang telah Allah berikan untukku. Tapi yang namanya rizki, ia tidak akan kekal karena ia hanya titipan yang setiap saat kita harus siap kehilangan saat Sang Pemilik mengambilnya. Tapi kelihatannya Allah masih begitu baik kepadaku. Rupanya Allah memberi “kode” kpeadaku, mengingatkan bahwa tak lama lagi Dia akan mengambil kembali titipan-Nya itu. Masih teringat jelas. Tiga bulan sebelum Dia mengambil ayah, saat ayah masih terbaring lemas. Aku hadir di majelisnya Romo Yai Achmad Asrory Al Ishaqy Ra. Tempatnya di Pondok Pesantren Al Fithrah Kedinding Surabaya saat itu. Sengaja aku hadir dengan niat khusus untuk Ayah. Aku ceritakan semuanya kepada-Nya. Aku yang merengek-rengek minta agar diberi waktu lebih lama lagi agar aku bisa bersama ayah. Aku yang dengan polosnya mengaku bahwa aku tidak siap jika DIa harus mengambil ayah secepat itu. Ya, aku yang sama egoisnya dengan anak kecil yang menangis ketika boneka kesayangannya akan diambil orang lain. Tapi lama-kelamaan luluh juga pertahananku. Anak mana yang sanggup berlama-lama melihat orang tua yang begitu dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Begitu juga dengan ku. Sehari sebelum Allah memanggil ayah, KH. Umar Thoha atau yang biasa dipanggil orang-orang Ustadz Umar datang ke rumah. Ayah memang biasa ikut pengajian beliau di Masjid Jami’ sesudah sholat shubuh. Namun selama tiga bulan belakangan harus berhenti karena Ayah hanya bisa terbaring di tempat tidur. Ya, ba’da dzuhur beliau datang ke rumah bersama putranya yang masih TK serta satu orang teman ayah. Ada sedikit perbincangan yang aku sendiri tak begitu jelas apa yang dibicarakan karena saat itu suara ayah sudah tak bisa terdengar dengan jelas. Di akhir pertemuan itu, Ustadz Umar bacakan doa. Aku dan Ibu yang melihat dibalik pintu ikut mengamini. Begitu juga dengan ayah yang masih bisa mengangkat kedua tangan. Meskipun aku tak paham betul doa apa yang dipanjatkan tapi aku tahu Ustadz Umar berdoa untuk kebaikan ayah. Malamnya saat aku akan tidur, Ibu bilang “Mau Ustadz Umar ndungakno ayah. Nek pancene ayah sek dikei panjang umur, mugo-mugo cepet waras. Tapi nek pancene wes wayahe, mugo-mogo yo dilancarno. Tapi Ibuk kok ngeroso ayah wes ape gak onok. Wes gak popo yo. Sakno ayah nek loro suwih-suwih.” Aku yang mendengar ibu bicara seperti itu sama sekali tak menjawab apapun. Saat itu mungkin aku sudah lebih siap dari sebelumnya. Sudah tidak ada lagi tangisan saat harus menyuapi ayah, sudah tak ada lagi mata yang berkaca-kaca saat berbicara dengan ayah. Keesokan paginya, sekitar pukul 05.30 WIB, Jumat 10 Juli 2015/ 23 Ramadhan 1436 H, Allah SWT benar-benar memanggil ayah. Aku, sedih sudah pasti tapi tak ada tangisanku saat itu. Mungkin karena sudah banyak tangisan-tangisan sebelumnya. Ya, Allah benar-benar mengambilnya saat kami merasa sudah siap, saat kami benar-benar sudah mengikhlaskannya pergi.
      Ayah, semoga ayah baik-baik disana ya. Aku kangen ayah. Semoga ayah selalu mendoakanku dari sana. Allah, aku titipkan dia pada-Mu, tempatkan dia di sisi-Mu. Ampuni dosanya dan terima semua amal ibadahnya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin

“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan kepada Allahlah dikembalikan segala urusan.” (QS. Ali Imran :109)


“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan kepada Allah jugalah kami kembali).” (QS. Al Baqarah : 156)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar