12 Nopember ya sekarang? Aku
bahkan tak tahu kalau hari ini “Hari Ayah” kalau saja tidak melihat updatetan status teman-teman di media
sosial. Sama sekali tidak ada niat untuk menuliskan sesuatu tentangnya. Karena menulis
tentangnya itu berarti menarik kembali kenangan yang pernah ada tanpa
terkecuali tentang saat-saat yang sungguh sangat tidak aku sukai. Saat ketika
aku melihatnya terbaring lemah tak berdaya, saat ketika melihatnya keadaannya
yang begitu menyedihkan, saat ketika Allah lebih memilih untuk memanggilnya
daripada untuk tinggal lebih lama lagi di sini. Begitu menyakitkan rasanya. Bahkan
sampai sekarang mengingat peristiwa itu hanya akan menyebabkan air mata yang
keluar tak terbendung.
Malam ini, malam Jumat,
Alhamdulillah Allah memudahkan langkahku untuk hadir di majelis itu, Majleis
Diba’. Kalau tidak ada kegiatan yang
darurat rasanya hadir disana merupakan suatu keharusan. Entah kenapa. Berada di
dalamnya mampu menentramkan jiwa yang sudah penat dengan urusan ini itu. Disana
aku bisa mengadukan semuanya, apa-apa yang mengganjal di hati. Disana juga aku
bisa merasakan kedekatan dengan-Nya bahkan merasakan kehadiran kekasih-Nya. Entah
percaya atau tidak tapi itu yang aku rasakan. Sampai di tengah-tengah ada salah
seorang teman yang membagikan puisi tentang ayah di grup LINE. Belum sempat selesai
membaca satu bait pertamanya, nyatanya air mata itu sudah meleleh. Akhirnya kuputuskan
untuk tidak membaca kelanjutannya. Barangkali lantunan sholawat qasidah yang
dibawakan, pukulan terbang yang dimainkan juga turut andil dalam menyebabkan
aku merasakan sesuatu yang lebih akrab disebut “baper”. Iya, baper banget
rasanya. Sudah mencoba sekuat tenaga untuk menahan air mata yang mulai membasahi
kelopak mata agar tidak jatuh namun percuma gagal juga. Bahkan adik yang duduk
di sebelah sampai tanya “Lho mbak wilda kenapa?”, Cuma bisa jawab sambil senyum
“Nggak papa-papa dek. Cuma keinget sesuatu jadinya baper. Dia nggak bertanya
lagi, hanya saja memegang tanganku, mencoba untuk menenangkan :’)
Ayah, aku mungkin tidak bisa
bercerita banyak tentangnya seperti apa yang teman-teman lakukan. Ayah, mungkin
dia bukan seperti ayah-ayah lain yang selalu memberikan apa pun yang diminta
oleh putrinya. Mungkin ayah juga bukan ayah yang selalu menanyakan kabar
putrinya ketika putrinya sedang di rantau. Ayah juga bukan ayah yang sering
mengajak anaknya untuk berlibur ke tempat yang indah setiap ada kesempatan. Tapi
yang aku tahu ayah tetaplah sosok yang baik yang dalam setiap sujudnya tak
pernah ia lupakan doa terbaik untuk anak-anaknya. Ayah mungkin jarang membelikan
barang berharga untukku. Tapi aku cukup tahu, jauh di dalam lubuk hatinya ayah
pasti ingin memenuhi semua keinginanku. Bahkan aku tahu, ketika aku meminta
barang yang sangat kubutuhkan, ayah berusaha untuk memenuhinya meskipun uang
yang ada sebenarnya tidak cukup. Tapi ayah berusaha memenuhinya untukku. Ayah tidak
pernah merasa berat ketika harus mengambil tabungannya untuk keperluanku. Bahkan
ayah yang memberiku pengertian bahwa banyaknya materi yang kita punya itu
tidaklah penting. “Rizki iku gak penting
akeh atau titik. Sing penting iku barokah. Mbasio ta akeh tapi nek gak barokah
yo tetep ae ngeroso kurang”. Kata-kata itu masih sering kuingat sampai
sekarang. Ayah, masih aku ingat. Ketika awal masuk kuliah. Ketika teman-teman
semua ditemani ayah atau ibunya saat ribet-ribetnya mengurus keperluan daftar
ulang, mencari tempat kos, dan lain-lain, aku tidak bersama ayah saat itu. Saat
aku menangis karena bingung dengan siapa aku pergi kesana, ayah menawarkan diri
untuk menemaniki. Mungkin itu yang dinamakan naluri orang tua. Ia bahkan tidak
tega melihat anaknya kebingungan. Tapi aku menolak. Tidak sampai hati rasanya
aku harus merepotkan ayah dengan kondisi ayah yang seperti itu. Sampai akhirnya
ternyata Allah kasih jalan lain. Aku bersama temanku yang ditemani pamannya
untuk mengurus keperluan daftar ulang. Ayah, apa ayah tahu kadang aku merasa
iri ketika melihat teman-teman yang lain ditelepon oleh orang tuanya yang
menanyakan kabar anaknya, kegiatan apa saja yang dilalukan. Tapi tentu saja
segera kutepis perasaan itu. Karena aku tahu ayah dan ibuk bukannya tidak mau
menghubungi anaknya tapi tidak bisa. Iya, karena ayah dan ibu tidak pegang hp. Aku
masih ingat ketika Mbak menawari hp untuk ayah dan ibuk. Tapi saat itu ayah
menolak dan bilang, “Wes gak usah, wong
wes tuwo kok”. Hehe, alasannya lucu menurutku. Meskipun ayah sama sekali
tidak pernah telpon selama anaknya kuliah tapi aku tahu ayah selalu
mengkhawatirkan keadaan anaknya. Hanya saja caranya yang lain. Ayah titipkan
anaknya kepada Sang Pencipta lewat doa. Aku juga masih ingat, ketika akan
ujian, aku minta didoakan ayah sama ibuk. Tapi ayah selalu jawab “jenenge wong towo, gak usah dijaluk yo wes
didungakno. Ben mari sembayang gak tau lali ndungakno gawe anak-anake”. Doa,
itu juga yang selalu ayah ingatkan. Dulu, saat mau tidur. Ayah selalu mampir ke
kamar, melihat apakah anaknya sudah tidur atau belum. Kalau aku belum tidur,
ayah pasti bilang “wes ndang turu, ojok
lali moco-moco” . Dan satu hal yang tidak mungkin aku lupakan. Dulu saat
aku harus opname karena anemia. Saat aku harus transfusi darah dan ternyata
stok darah di Rumah Sakit yang sesuai dengan golonganku habis. Ayah yang
pontang-panting mencarinya ke luar Rumah Sakit malam-malam dan Alhamdulillah
akhirnya dapat dari PMI. Aku tidak mungkin lupa semua itu. Bahkan masih banyak
lagi pengorbanan, kasih sayang, dan kebaikan yang ayah beri dan aku sama sekali
tidak sanggup untuk menulisnya satu per satu. Ada yang bilang rizki tak melulu
soal materi. Rizki itu apa yang kita nikmati, apa yang kita syukuri. Dan bagiku,
ayah adalah salah satu rizki yang telah Allah berikan untukku. Tapi yang
namanya rizki, ia tidak akan kekal karena ia hanya titipan yang setiap saat
kita harus siap kehilangan saat Sang Pemilik mengambilnya. Tapi kelihatannya
Allah masih begitu baik kepadaku. Rupanya Allah memberi “kode” kpeadaku,
mengingatkan bahwa tak lama lagi Dia akan mengambil kembali titipan-Nya itu. Masih
teringat jelas. Tiga bulan sebelum Dia mengambil ayah, saat ayah masih
terbaring lemas. Aku hadir di majelisnya Romo Yai Achmad Asrory Al Ishaqy Ra. Tempatnya
di Pondok Pesantren Al Fithrah Kedinding Surabaya saat itu. Sengaja aku hadir
dengan niat khusus untuk Ayah. Aku ceritakan semuanya kepada-Nya. Aku yang
merengek-rengek minta agar diberi waktu lebih lama lagi agar aku bisa bersama
ayah. Aku yang dengan polosnya mengaku bahwa aku tidak siap jika DIa harus
mengambil ayah secepat itu. Ya, aku yang sama egoisnya dengan anak kecil yang
menangis ketika boneka kesayangannya akan diambil orang lain. Tapi lama-kelamaan
luluh juga pertahananku. Anak mana yang sanggup berlama-lama melihat orang tua
yang begitu dicintainya terbaring lemah tak berdaya. Begitu juga dengan ku. Sehari
sebelum Allah memanggil ayah, KH. Umar Thoha atau yang biasa dipanggil
orang-orang Ustadz Umar datang ke rumah. Ayah memang biasa ikut pengajian
beliau di Masjid Jami’ sesudah sholat shubuh. Namun selama tiga bulan belakangan
harus berhenti karena Ayah hanya bisa terbaring di tempat tidur. Ya, ba’da
dzuhur beliau datang ke rumah bersama putranya yang masih TK serta satu orang
teman ayah. Ada sedikit perbincangan yang aku sendiri tak begitu jelas apa yang
dibicarakan karena saat itu suara ayah sudah tak bisa terdengar dengan jelas. Di
akhir pertemuan itu, Ustadz Umar bacakan doa. Aku dan Ibu yang melihat dibalik
pintu ikut mengamini. Begitu juga
dengan ayah yang masih bisa mengangkat kedua tangan. Meskipun aku tak paham
betul doa apa yang dipanjatkan tapi aku tahu Ustadz Umar berdoa untuk kebaikan
ayah. Malamnya saat aku akan tidur, Ibu bilang “Mau Ustadz Umar ndungakno ayah. Nek pancene ayah sek dikei panjang
umur, mugo-mugo cepet waras. Tapi nek pancene wes wayahe, mugo-mogo yo
dilancarno. Tapi Ibuk kok ngeroso ayah wes ape gak onok. Wes gak popo yo. Sakno
ayah nek loro suwih-suwih.” Aku yang mendengar ibu bicara seperti itu sama
sekali tak menjawab apapun. Saat itu mungkin aku sudah lebih siap dari
sebelumnya. Sudah tidak ada lagi tangisan saat harus menyuapi ayah, sudah tak
ada lagi mata yang berkaca-kaca saat berbicara dengan ayah. Keesokan paginya,
sekitar pukul 05.30 WIB, Jumat 10 Juli 2015/ 23 Ramadhan 1436 H, Allah SWT
benar-benar memanggil ayah. Aku, sedih sudah pasti tapi tak ada tangisanku saat
itu. Mungkin karena sudah banyak tangisan-tangisan sebelumnya. Ya, Allah
benar-benar mengambilnya saat kami merasa sudah siap, saat kami benar-benar
sudah mengikhlaskannya pergi.
Ayah, semoga ayah baik-baik
disana ya. Aku kangen ayah. Semoga ayah selalu mendoakanku dari sana. Allah, aku
titipkan dia pada-Mu, tempatkan dia di sisi-Mu. Ampuni dosanya dan terima semua
amal ibadahnya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamiin
“Kepunyaan Allah-lah segala yang ada di langit dan di bumi. Dan kepada
Allahlah dikembalikan segala urusan.” (QS. Ali Imran :109)
“Orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: Inna
lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun (Sesungguhnya kami adalah kepunyaan Allah dan
kepada Allah jugalah kami kembali).” (QS. Al Baqarah : 156)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar